Peran Muslim dalam Masyarakat Ekonomi Asia (MEA)

 

Apa sih itu MEA??

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) (Bahasa Inggris: ASEAN Economic Community (AEC)) adalah sebuah integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi perdagangan bebas antarnegara-negara ASEAN. Seluruh negara anggota ASEAN telah menyepakati perjanjian ini. MEA dirancang untuk mewujudkan Wawasan ASEAN 2020.

Dalam menghadapi persaingan yang teramat ketat selama MEA ini, Muslim di negara-negara ASEAN haruslah mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang trampil, cerdas, dan kompetitif.

Awal mula MEA berawal pada KTT yang dilaksanakan di Kuala Lumpur pada tanggal 1997 dimana para pemimpin ASEAN akhirnya memutuskan untuk melakukan pengubahan ASEAN dengan menjadi suatu kawasan makmur, stabil dan sangat bersaing dalam perkembangan ekonomi yang berlaku adil dan dapat mengurangi kesenjangan dan kemiskinan sosial ekonomi (ASEAN Vision 2020).

kemudian dilanjutkan pada KTT bali yang terjadi pada bulan Oktober pada tahun 2003, para pemimpin ASEAN mengaluarkan pernyataan bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA akan menjadi sebuah tujuan dari perilaku integrasi ekonomi regional di tahun 2020, ASEA SECURITY COMMUNITY dan beberapa komunitas sosial Budaya ASEAN  merupakan dua pilar yang tidak bisa terpisahkan dari komunitas ASEA. Seluruh pihak diharapkan agar dapat bekerja sama secara kuat didalam membangun komunitas ASEAN di tahun 2020.

 

Peran umat muslim dalam menghadapi MEA.

Di tengah kehancuran moral, maraknya tindak kekerasan, intoleransi, dan perilaku keseharian, membangun karakter yang berbasis al-Qur’an menjadi relevan untuk diterapkan dalam rangka membangun karakter umat. Untuk membangun sebuah umat yang berkarakter, ada beberapa identitas utama yang harus dimiliki oleh umat Islam tersebut sebagaimana yang diperoleh dari isyarat-isyarat Al-Qur’an.

  1. Kemantapan Persatuan. Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan perlunya persatuan dan kesatuan (QS. al-Anfal: 46).[1][11]
  2. Adanya Nilai-nilai luhur yang disepakati. Untuk memantapkan dan mewujudkan persatuan dan kesatuan diperlukan nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup bangsa dan menjadi pegangan bersama. Dalam QS. al-An’am: 108 dinyatakan bahwa bagi setiap bangsa mempunyai nilai-nilai yang mereka anggap baik dan indah.
  3. Kerja keras, disiplin, dan menghargai waktu. QS. al-Isra’: 19 menegaskan pentingnya ciri ini. Ayat tersebut menegaskan bahwa orang yang punya visi ukhrawi ialah orang yang mau berusaha keras dan sungguh- sungguh ke arah itu. Artinya, seseorang harus selalu punya kesibukan positif secara berkesinambungan agar waktunya tidak ada yang sia-sia. Surah al- Insyirah: 7-8 memberi petunjuk bahwa bila telah berakhir suatu pekerjaan, kita harus bersiap memulai lagi dengan pekerjaan yang lain sehingga waktunya selalu terisi. Itulah usaha yang disyukuri atau terpuji.
  4. Kepedulian. Maksudnya, untuk melahirkan umat yang unggul diperlukan kepedulian dan kontrol sosial masyarakat secara umum. Yakni kepedulian dalam menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran di manapun ia berada dengan cara bahu membahu dan saling mengingatkan tentang kebenaran, kesabaran, ketabahan, dan kasih sayang antar mereka sebagai bentuk pembelaan terhadap nilai-nilai agama yang bersifat universal serta pembelaan terhadap nilai-nilai budaya masyarakat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Termasuk kepedulian dalam bentuk pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat lemah, sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Maun: 1-2. Menurut Quraish Shihab, ayat itu tidak memberi peluang sekecil apapun bagi setiap orang yang beragama untuk tidak berpartisipasi dalam bentuk kepedulian sosial dalam kehidupannya.[2][12]
  5. Moderasi dan keterbukaan. Karakter ini akan membawa suatu umat tidak hanyut oleh materialisme dan tidak pula membumbung tinggi ke alam malakut/ruhani yang tidak membutuhkan materi. Tetapi moderasi yang mampu memadukan antara keduanya dalam segala sikap dan aktifitas mereka. Sementara keterbukaan membuatnya tidak ekslusif atau menutup diri dari lingkungan dan kemajemukan serta perkembangan global. Sikap ini akan menjadikan umat menjadi kompetitif karena dapat menerima yang baik dan bermanfaat serta menolak yang buruk melalui filter pandangan hidupnya. Dalam konteks ini, al-Qur’an melukiskannya dalam surah Ali Imran: 110 dan al-Fath: 29.39
  6. Kesediaan Berkorban. Karakter ini dibutuhkan mengingat manusia memiliki banyak kebutuhan hidup di samping sikap egois. Bila kesediaan berkorban tidak ada, maka peluang terjadinya perselisihan dan permusuhan sangat rawan. Pengorbanan adalah benih dari lahirnya akhlak mulia dan stabilitas hidup suatu bangsa. Ilustrasi pengorbanan ini telah dipraktekkan oleh kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah yang digambarkan dalam QS. al-Hasyr: 9.
  7. Ketegaran dan keteguhan dalam menghadapi tantangan. Dalam konteks ini, al-Qur’an mengingatkan agar kaum muslim tidak mudah terperdaya oleh kekuatan lawan yang banyak jumlahnya, lebih kuat balatentara dan dukungan finansialnya, atau lebih tinggi kedudukan sosialnya. Umat yang berkarakter haruslah tegar dan teguh menghadapi berbagai rayuan dan tantangan. Walaupun secara fisik mereka terkalahkan oleh kekuatan musuh, namun sebagai bangsa yang bermartabat ia tidak boleh mengorbankan harga dirinya dan nilai-nilai yang dianutnya demi meraih kepentingan duniawi sesaat. Karakter ini terukir melalui pesan Allah dalam surah Ali Imran: 139. sesaat setelah selesai perang Uhud, serta dalam surah an-Nahl: 92.41

Selanjutnya, untuk mewujudkan karakter tersebut ke dalam tatanan umat Islam dan bertanah air maka setidaknya ada tiga komponen utama yang paling bertanggung jawab menjalankannya, yaitu masyarakat (termasuk pribadi dan keluarga), dunia pendidikan, dan pemerintah. Langkah itu harus dimulai dengan pendidikan kejiwaan bagi setiap pribadi, keluarga dan masyarakat dengan menumbuhsuburkan pengamalan aspek-aspek akidah dan akhlak lewat gerakan dakwah yang getol dan tanpa kenal lelah. Baik dakwah bil lisan maupun dakwah bil hal. Untuk memastikan ketiga komponen itu berfungsi, maka penyediaan mekanisme dan sarana penunjang sangat dibutuhkan. Di sinilah peran dunia pendidikan, baik sekolah maupun masjid, serta media massa untuk mengantarkan dan menjamin hadir dan sampainya dakwah tersebut ke semua anak bangsa dan lapisan masyarakat. Adapun peran pemerintah lewat tiga lembaga utamanya yaitu eksekutif, yudikatif dan legislatifnya berperan untuk menggunakan political will dan tupoksinya (dakwah bil fi’l) agar konsep pendidikan karakter berbasis Al-Qur’an bisa dikawal dan diimplemetasikan dalam bentuk lahirnya Undang-undang dan kebijakan strategis.

Metode yang digunakan tentu mencontoh langkah yang ditempuh oleh Nabi dalam membentuk akhlak mulia. yaitu: 1) Mengubah pola pikir (mindset) umat manusia yang bertumpu pada keharusan mempercayai dan mengikuti perintah Tuhan dalam arti yang seluas-seluasnya, 2) Memberikan contoh-contoh konkret, mempraktikkan dan membiasakan mengikuti perintah Tuhan tersebut dalam hubungan-Nya berbuat baik kepada sesama manusia, dan dengan jagat alam raya. Contoh dan pembiasaan akhlak mulia ini misalnya ia tunjukkan dalam hal berumah tangga, bersikap baik terhadap keluarga, sahabat dan sesama, berjual beli, bergaul dengan komunitas yang berbeda agama, dalam berdiplomasi, berperang, dan memimpin Negara, 3) Melakukan proses seleksi, akomodasi dan reintegrasi dengan nilai-nilai dan adat istiadat (‘uruf) yang sesuai dan relevan, 4) Melakukan perubahan, modifikasi, difusi, pembatalan dan penghapusan terhadap akhlak masa lalu yang tidak baik dengan cara evolutif, 5) Berpijak pada konsep fitrah manusia sebagai makhluk yang mencintai kebaikan (etika), keindahan (estetika), dan kebenaran (logika), dan 6) Memberikan reward dan funishment secara bijaksana terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap ajaran Tuhan.

Dengan demikian, konsep dan langkah pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Qur’ani yang telah diuraikan di atas diharapkan dapat melahirkan sebuah bangsa yang unggul dan bermartabat yang ditandai dengan tingkat pelanggaran-pelanggaran dan penyimpangan-penyimpangan, baik terkait agama, sosial dan budaya, termasuk perilaku pribadi menunjukkan grafik menurun. Bahkan, tidak menutup kemungkinan grafik itu akan menghilang sehingga muncul bangsa (ummat) dan negara yang dalam Al-Qur’an diidentifikasi sebagai Baldatun Thayyibah Wa Rabbun Ghafur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *